Berzikir, Doa dan Sedekah untuk Mayit


• Bagaimanakah hukum berdzikir atau berdoa untuk orang yang sudah meninggal dunia?

Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa merupakan inti dari ibadah. Dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan oleh seorang mukmin itu ada doa. Bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa doa itu merupakan pedang bagi seorang muslim. Islam memboleh berdoa atau dzikir untuk orang yang sudah mati. Dalam sebuah ayat dinyatakan:

“Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa para sahabat pernah berdoa untuk saudara-saudara mereka yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Ketika para sahabat melakukan hal itu, Rasulullah pun tidak melarangnya. Nabi membiarkan dan membolehkannya. Perintah untuk mendoakan orang lain juga disebut dalam ayat:

“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan dosa orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)

Nabi Saw sendiri dalam beberapa haditsnya memerintahkan secara terang-terangan supaya umat Islam membacakan ayat-ayat al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam hadits beikut:

Dari Mu’aqqal ibn Yasar ra: “Barangsiapa membaca surat Yasin karena mengharap ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat Yasin bagi orang yang mati diantara kamu.” (HR. Baihaqi, Jami’us Shaghir: bab Syu’abul Iman, vol. 2, hal. 178, Termasuk hadits shahih.)

Senada dengan itu, dalam hadits lain Rasulullah juga menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memohonkan ampunan bagi si mayit atas dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan saat hidup di dunia.

Dari Utsman ibn ‘Affan ra, dia berkata: “Ketika Rasulullah selesai menguburkan jenazah, maka belia berdiam diri atas mayit, lalu bersabda, “mohon ampunlah kalian semua kepada Allah swt, untuk saudaramu. Dan mohon lah ketetapan untuk mayit. Sesungguhnya saat ini dia sedang di beri pertanyaan.” (HR. Abu Daud dan Hakim, termasuk hadits shahih menurut Abu Daud. Bulughul Maram: 115/604)

• Bagaimana hukum bersedekah untuk orang yang sudah meninggal?

Dalam Islam, sedekah merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan, bahkan merupakan perintah yang harus dijalankan. Di dalam al-Qur’an digambarkan bahwa bersedekah merupakan salah satu ciri orang yang bertakwa. Dengan kata lain, seseorang tidak masuk dalam kategori bertakwa (muttaqin) manakala ia tidak mau menyisihkan sebagian hartanya untuk disedekahkan kepada orang yang berhak. Allah berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133 – 134)

Banyak hikmah yang dapat diambil dalam bersedekah. Orang yang bersedekah tidak akan mengalami kerugian, baik materiil maupun spiritual. Allah sendiri dalam wahyu-Nya menjanjikan mereka yang mau bersedekah untuk dilipat-gandakan. Seorang yang mensedekahkan hartanya digambarkan akan mendapatkan pahala berlipat-lipat: ibarat dahan pohon yang memiliki tujuh ranting, dan setiap ranting memiliki seribu benih. Dalam ayat lain Allah secara tegas akan menjamin orang yang bersedekah, ia akan dilindungi dari kejahatan orang-orang yang zhalim.

“Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfal: 60)

Bersedekah tidak saja dapat dilakukan ketika masih hidup. Tetapi, sedekah juga dapat dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Rasulullah saw pernah memerintah seseorang supaya bersedekah untuk keselamatan keluarganya yang telah meninggal dunia.

Dari ‘Aisyah ra bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah saw bersabda, “Iya”.” (Muttafaqun ‘alaih)

Perintah Rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akan pernah putus meskipun orang yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala bersedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditinggalkan oleh rohnya.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tatkala Manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)


Tahlil dan Dzikir Jamaah


• Bagaimana hukumnya tahlil?

Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.

• Bagaimana dengan makna tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu?

Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru dunia adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa Allah, Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al-Adzim, sholawat, ayat-ayat al-Qur’an, Fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga masih ditanyakan hukumnya?

• Apakah ada aturan berdzikir secara jamaah sebagaimana dilakukan jamaah NU?

Kita mungkin perlu memperhatikan surat al-Kahfi ayat 28 yang artinya:

”Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”

Di samping ayat disebutkan diatas, diantara ayat yang biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir berjama'ah adalah sebagai berikut:

"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran:191)

Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjama'ah karena menggunakan sighat (konteks) jama' (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut kyai NU jama’ berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama.
Pengambilan dalil semacam ini menurut saya adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama’ harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal ibtida’ (telah dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah.
Selain itu jika sighat (konteks) jama’ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Nah bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini?

• Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah Saw dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah Saw dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?
Kalau anda menyatakan bahwa lafadz jama’ itu tidak selalu bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama’ itu tidak mungkin dimaknakan bersama-sama? Bagaimanakah dengan kisah para sahabat yang berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah) di saat menggali khandaq (parit). Rasul saw dan para sahabat ra bersenandung bersama-sama dengan ucapan: "Haamiiim laa Yunsharuun ...". (Lihat Kitab Sirah Ibn Hisyam, Bab Ghazwat Khandaq). Perlu anda ketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yang pertama ada dari sekian banyak buku-buku sejarah yang ada. Dengan kata lain, sirah Ibn Hisaym merupakan buku sejarah tertua. Karena ia adalah tabi'in. Sehingga akurasi sumber datanya lebih valid. Begitu juga pada waktu para sahabat membangun Masjidirrasul saw, mereka bersemangat sambil bersenandung: "Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham al-Anshar wal Muhaajirah". Setelah mendengar ini, Rasul Saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat : "Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham al-Anshar wal Muhajirah ... " (Lihat, Sirah Ibn Hisyam, Bab Hijraturrasul: bina' masjidissyarif, hal 116). Ucapan ini pun merupakan doa Rasul Saw sebagaimana diriwayatkan dalam shahihain.
Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Tidakkah anda pernah shalat berjamaah? Bukankah shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah shalat itu bisa berdiri, duduk dan tidur miring?
Jadi ayat tersebut diatas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, namun secara umum dapat juga diartikan dzikir secara lafdzi. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknai bahwa dzikir berjamaah dengan tidur semua, duduk semua atau berdiri semua, manakah point yang menunjukkan itu? Bagaimana kalau dimaknai bila dzikir itu dibaca berjamaah, kita dapat berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan kondisi kita? Berdiri karena tidak lagi kebagian tempat, tiduran karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan.
Sahabat Rasul ra mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul Saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun shalat tarawih sendiri-sendiri. Kalau toh Rasul Saw melakukannya lalu menghindarinya, lantas mengapa Generasi Pertama yang terang benderang dengan keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah. Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini. Kalau anda tidak mau memaknai kalimat jama’ dengan arti bersama-sama, dari makna dan apa anda shalat tarawih berjamaah? Berdasar hadits dan ayat al-Qur’an yang mana?
Kita Ahlussunnah waljama’ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama.
Sebagaimana dalam sebuah hadist Qudsi, Allah SWT berfirman:

"Bila ia (hambaku) menyebut namaku dalam dirinya, maka aku mengingatnya dalam diriku. Bila mereka menyebut namakau dalam kelompok besar, maka akupun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia." (HR Muslim).

Kita di majelis-majelis men-jahar-kan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung-panggung maksiat yang setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja memuja manusia-manusia pendosa dan mengelu-elukan nama mereka, menangis menjilati sepatu dan air seni mereka.., suara-suara itu menggema pula di televisi di rumah-rumah orang muslimin, di mobil-mogil, dan hampir disemua tempat.
Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal? menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi di muka bumi?
Mewakili banyak hadits tentang dzikir berjamaah ini, ada baiknya jika kita memperhatikan hadits berikut:
Sabda Rasulullah Saw: “sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar di muka bumi mengikuti dan menghadiri majelis-majelis dzikir. Bila mereka menemukannya, maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia. Bila majelis selesai, maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu: “dari mana kalian?” Mereka menjawab: kami datang dari hamba hamba-Mu, mereka berdoa pada-Mu, bertasbih pada-Mu, bertahlil pada-Mu, bertahmid pada-Mu, bertakbir pada-Mu, dan meminta kepada-Mu. Maka Allah bertanya: “Apa yg mereka minta?” Malaikat menjawab: “mereka meminta sorga” Allah bertanya: “apakah mereka telah melihat sorgaku?” Malaikat menjawab: “tidak”. Allah berkata: “Bagaimana bila mereka melihatnya”. Malaikat berkata: “mereka meminta perlindungan-Mu” Allah berkata: “mereka meminta perlindungan dari apa?” Malaikat berkata: “dari Api neraka”. Allah berkata: “apakah mereka telah melihat nerakaku?”. Malaikat menjawab: “tidak” Allah berkata: “Bagaimana kalau mereka melihat neraka-Ku.” Malaikat berkata: “mereka beristighfar pada-Mu” Allah berkata: “sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa-apa yg mereka minta perlindungan darinya, malaikat berkata: “wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka” Allah berkata: “baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yang tidak ada yang dihinakan siapa-siapa yang duduk bersama mereka.”